INDONESIA RAYA – Penduduk asli Bogor atau mereka yang sudah lama tinggal di kota ini tentunya sudah hapal dengan nama–nama pelosok kota termasuk nama–nama daerah yang sering dilalui.
Sejumlah nama daerah di Bogor juga ngetop karena memiliki ciri khas atau di indentikkan dengan sesuatu misalkan makanan, jembatan, nama pohon nama orang atau lokasi dari tempat yang kramat dan unik atau juga dari sejarah masa lampau yang pernah terjadi.
Salah satunya adalah kawasan Empang yang secara administrasi berada di wilayah Kelurahan Empang Kecamatan Bogor Selatan Kota Bogor.
Kawasan Empang dahulunya bernama “Burwan Ageung” atau alun-alun di luar Kraton Pakuan, di lokasi ini prajurit Padjajaran rutin melakukankan latihan dan di sini pula segala acara keramaian umum di luar protokol kraton di laksanakan.
Kawasan ini juga pernah menjadi Ranamandala(medan pertempuran) ketika pasukan Prabu Ratu Dewata menyongsong pasukan tak di kenal (di perkirakan Banten) yang melakukan serangan mendadak.
Menurut “Carita Parahyangan” Atja (1968) Naskah Titilar Karuhun Urang Sunda, pada tahun 1535-1543 Kerajaan Pakuan Pajajaran dipimpin oleh Prabu Ratu Dewata(Prabu Siliwangi ke 3).
Beliau adalah raja yang taat menjalankan ajaran agama dan cenderung mengabaikan urusan kemiliteran negara.
Pada masa pemerintahan Prabu Ratu Dewata ini,terjadi serangan mendadak yang dilakukan oleh pasukan tak dikenal.
“Datang na bancana musuh ganal,tambuh sangkané.Prangrang di burwan ageung. Pejah Tohaan Saréndét deung Tohaan Ratu Sanghiyang”.
(Datang huru hara, banyak musuh tidak di ketahui dari mana asalnya, perang di Buruan atau Burwan Ageung (kawasan Empang sekarang) sehingga Tohaan Saréndét dan Tohaan Ratu Sanghyang gugur).
Saat itu Prabu Ratu Dewata masih beruntung karena memiliki para perwira tangguh yang pernah mendampingi ayahnya(Prabu Surawisesa) psebagai veteran perang.
Para perwira ini masih mampu menghadapi serangan mendadak dari musuh.
Di samping itu,ketangguhan benteng Pakuan peninggalan Sri Baduga menyebabkan serangan mendadak dari pasukan tak dikenal tidak mampu menembus benteng Pakuan.
Penyerang dibuat tunggang langgang tetapi dua orang Senapati Padjajaran gugur yaitu Tohaan Ratu Sangyang dan Tohaan Sarendet.
Dan di dalam Buku “Sejarah Bogor” karya Saleh Danasasmita lokasi ini pun disinggung, bahwa alun-alun Empang telah ada semenjak Kerajaan Pajajaran masih berdiri yang merupakan alun-alun di luar gerbang menuju Kraton.
Di alun-alun luar inilah pernah terjadi peperangan antara bala tentara Kerajaan Banten dan Padjajaran.
Pada tahun 1579 Kerajaan Pajajaran benar benar burak atau runtuh,hampir seluruh penduduknya meninggalkan kawasan Pakuan Padjajaran atau Bogor.
Kawasan yang dulu ramai oleh aktivitas dibiarkan tanpa tersentuh lagi, waktu antara Padjajara ”sirna” (yang kurang lebih memakan waktu sekitar satu abad)
Sampai kemudian ditemukan kembali oleh tim ekspedisi VOC (persekutuan dagang Belanda)
yang di pimpin Sersan Scipio (tahun 1687).
Saat pertama kali ditemukan sebagai puing yang diselimuti hutan tua yang lebat dan di huni oleh binatang liar yang ganas seperti ular ajag, harimau dan sebagainya.
Dalam ekspedisinya Scipio menemukan bekas bekas taman (kebun buah buahan) parit, benteng, susunan bebatuan yang diyakini sebagai peninggalan Kerajaan Pajajaran.
Kisah penemuan bekas bekas Kerajaan Pajajaran oleh Sersan Scipio kemudian dilanjutkan oleh tim ekspedisi berikutnya yang di pimpin oleh Kapiten Adolf Winkler (tahun 1690).
Masing masing membuat banyak catatan penting tentang bekas bekas Kerajaan Pakuan Pajajaran.
Kemudian pada tahun 1703,1704 dan 1709, Abraham Van Riebeeck melanjutkan ekspedisi yang telah dilakukan oleh para pendahulunya.
Berbeda dengan Scipio dan Winkler (yang selalu datang dari arah “Tajur”) Abraham Van Riebeeck selalu datang dari arah “Empang”.
Pada tanggal 11 September 1709 Abraham Van Reebeck, bersama tim nya kembali melakukan ekspedisi.
Dalam laporannya ia mencatat bahwa ia menemukan sebuah alun alun setelah ia melewati Cipakancilan dari arah Panaragan.
Dia pun mencatat bahwa terdapat tiga batang pohon beringin yang menjadi salah satu kelengkapan alun alun tradisional.
Alun alun itu membentang dari tepi Cisadane sampai ke Parit yang membentang dari Lolongok sampai ke Cipakancilan setelah melewati parit inilah terdapat jalan masuk yang mendaki menuju pintu gerbang Pakuan.
Sejarahpun terus berlanjut pada tahun 1745 sembilan buah distrik (kampung) yaitu Cisarua, Pondok Gede, Ciawi, Ciomas, Cijeruk, Sindang Barang, Balubur, Darmaga dan Kampung Baru digabung.
Menjadi satu pemerintahanan di bawah pimpinan kepala kampung baru yang di beri gelar Demang dan berkedudukan di Kampung Baru (Tanah Baru sekarang).
Gbungan 9 buah distrik (kampung) ini disebut Regentchap Kampung Baru atau Regentchap Buitenzorg.
Kemudian pada tahun 1754 Bupati Kampung Baru yaitu Demang Wiranata (1749-1758) mengajukan permohonan kepada Gubernur General Jacob Mossel (1750-1761)
Agar diizinkan untuk bisa menyewa lahan yang berada di sebelah timur Cisadane yang dekat dengan muara sungai Cipakancilan dan kemudian di beri nama “Kampung Sukahati”.
Selain membangun pendopo atau rumah dinas, Bupati Kampung Baru juga membangun sebuah Alun-Alun.
Tak jauh dari Alun-Alun dibuatlah Kolam Besar yang oleh masyarakat disebut Empang.
Rupanya keberadaan Empang ini menjadikan nama Sukahati terdesak dan lambat laun tenggelam tergantikan menjadi “Kampung Empang”.
Tanggal 28 Oktober 1763 dikeluarkan akte resmi pembentukan karesidenan Kampung Baru,yang setingkat dengan Kabupaten.
Sejak tahun 1770 (sebelum tahun 1775) nama Empang sudah mulai muncul dan masyarakat lebih sering menyebut kawasan ini dengan nama Empang sebutan ini dengan perlahan namun pasti menenggelamkan nama Sukahati.
Dokumen tanggal 28 November 1815 secara resmi sudah menyebut kawasan ini dengan nama Empang.
Pada tahun 1835 Gubernur Jendral Belanda J.J Rochussen mengeluarkan kebijakan yang mengatur pembagian zona pemukiman berdasarkan etnis, kebijakan tersebut dikenal dengan Wijkenstelsel.
Mereka membagi tanah jajahan kedalam beberapa zona.
Zona satu untuk bangsa Eropa yang di tempatkan di sebelah barat jalan raya (Jalan Sudirman sekarang) mulai dari Witte Paal sampai selatan Kebun Raya dan Pakancilan.
Zona dua untuk bangsa Timur Asing,keturunan Etnis Tionghoa diberi lahan di daerah yang berbatasan dengan Jalan raya sepanjang Jalan Surya Kencana sampai Tanjakan Empang.
Dan Kawasan Empang di peruntukan bagi keturunan dari Timur Tengah sedangkan Zona tiga di peruntukan untuk bangsa pribumi yang mendiami bagian selatan wilayah Empang dan wilayah lain di pinggiran Buitenzorg.
Setiap pemukim tidak diizinkan keluar dari pemukimannya tanpa ada surat izin (wijken-en passenstelsen) dari pemerintah Belanda.
Pengurusan surat izin dilakukan oleh kepala kelompok pemukiman yang di beri pangkat Kapiten yang bertanggung jawab langsung kepada Gubernur Jendral Belanda.
Tahun1870 Ratu Belanda mengeluarkan besluit (keputusan) yang menyebutkan bahwa pusat pemerintahan Hindia-Belanda di pindahkan dari Batavia (Jakarta) ke Buitenzorg (Bogor), dengan adanya keputusan tersebut tata pemerintahanpun berubah.
Dua tahun kemudian tepatnya tahun 1872 karesidenan Kampung Baru dihapuskan, sementara itu Bupati terakhir (tahun 1872) yang masih berkedudukan di Empang adalah R.Adipati Soeriya Winata alias R.H Muhammad Sirodz atau yang lebih di kenal dengan sebutan “Dalem Sholawat”.
Pada tahun 1915 kebijakan pembagian zona pemukiman berdasarkan etnis dihapuskan.
Setiap orang/penduduk memiliki kebebasan untuk bermukim di luar zona yang telah di tentukan,hal tersebut menyertai pergeseran batas sosial dan budaya.
Setelah beberapa generasi terjadilah asimilasi budaya dan bahasa,mereka sehari hari umumnya berbahasa Sunda dengan logat Bogornya yang khas.
Perkembangan selanjutnya kawasan empang menjadi pemukiman bagi keturunan Arab Sunda dan lainnya.
Warga ketururanan Arab sudah menjadi sebuah brand di Empang,maka tidak berlebihan jika suasana timur tengah sangat terasa di kampung ini
Jika anda berkunjung ke kawasan ini di kiri kanan jalan banyak pedagang yang menjual beberapa barang seperti peci, buku-buku agama, tasbih, kaligrafi, minyak wangi, kurma hingga oleh oleh umrah/haji dari tanah suci, dan juga makanan khas timur tengah seperti nasi kebuli dan lain sebagainya.
Lebih dari itu, di tengah kesemrawutan jalanan Empang dan padatnya perumahan,Empang tetap menjadi magnet tersendiri karena Empang merupakan salah satu icon dari Kota Bogor.
Empang adalah sepenggal sejarah kota Bogor yang telah melewati perjalanan panjang dan tercatat dalam sejarah kota ini dari zaman Kerajaan Padjajaran sampai kini saat kawasan ini tercatat sebagai salah satu destinasi wisata populer di kota Bogor.
Di akui secara umum dan politis cikal bakal Bogor adalah Kerajaan Pakuan Padjajaran
Sejarah adalah cermin kehidupan masa lalu yang bisa kita jadikan pijakan dan pelajaran untuk menatap dan menata perikehidupan kita dimasa depan.
“Di Nu Kiwari Ngancik Nu Bihari Seja Ayeuna Sampeureun Jaga” (Yang ada sekarang adalah hasil masa lampau dan yang di lakukan sekarang buat masa depan). (Yan Brata Dilaga).***
Klik Google News untuk mengetahui aneka berita dan informasi dari editor Indonesiaraya.co.id, semoga bermanfaat.